

Florence Nightingale lahir di Firenze, Italia pada 12 Mei 1820. Nama depannya, Florence merujuk kepada kota kelahirannya, Firenze dalam bahasa Italia atau Florence dalam bahasa Inggris. Semasa kecilnya ia tinggal di Lea Hurst, sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya, William Nightingale yang merupakan seorang tuan tanah kaya di Derbyshire, London, Inggris. Sementara ibunya adalah keturunan ningrat dan keluarga Nightingale adalah keluarga terpandang. Florence Nightingale memiliki seorang saudara perempuan bernama Parthenope.
Sebagai keluarga yang berasal dari kalangan mapan, keinginan Florence untuk berkarier sebagai perawat mendapat tantangan keras. Ibu dan kakaknya sangat keberatan dengan jalur yang hendak ditempuh Florence. Sedangkan ayahnya, meski mendukung kegiatan kemanusiaan yang dilakukan putrinya ini, juga tidak ingin Florence menjadi perawat.
Pada masa itu, pekerjaan sebagai perawat memang dianggap pekerjaan yang hina, alasannya:
- Perawat disamakan dengan wanita tuna susila atau “buntut” (keluarga tentara yang miskin) yang mengikuti ke mana tentara pergi;
- Profesi perawat banyak berhadapan langsung dengan tubuh dalam keadaan terbuka sehingga profesi ini dianggap sebagai profesi yang kurang sopan untuk wanita baik-baik, selain itu banyak pasien memperlakukan wanita yang tidak berpendidikan yang berada di rumah sakit dengan tidak senonoh;
- Perawat di Inggris pada masa itu lebih banyak laki-laki daripada perempuan karena alasan-alasan tersebut di atas;
- Perawat masa itu lebih sering berfungsi sebagai tukang masak.
Tercatat dalam sejarah, Florence menjadi satu-satunya wanita yang mendaftarkan diri menjadi relawan pada tahun 1854, ketika Inggris dan Perancis mengumumkan perang terhadap Rusia untuk menguasai Krimea dan Konstantinopel (pintu gerbang menuju Timur Tengah). Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran, namun yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya perawatan untuk para prajurit yang sakit dan luka-luka. Selain sebagai tokoh di bidang keperawatan, Florence juga merupakan tokoh di bidang kepalang merahan khususnya relawan-relawan palang merah.
Dari ringkasan cerita tentang The Lady With The Lamp diatas, sudah selayaknya kita berhenti membangga-banggakan kemapanan dan kemewahan yang dimiliki. Karena kebahagiaan tidak selamanya di dapat dari kedua hal itu, seperti Florence yang meninggalkan kemapanan untuk benar-benar menjadi manusia yang diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Rasa sebagai makhluk sosial yang beliau memiliki lebih besar daripada rasa ke-individuan-nya. Apakah rasa seperti itu juga yang ada pada diri kita? Atau sebaliknya?
No comments:
Post a Comment