Sebagai rangkaian kongres VI ILMIKI (Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia), BEM KM Jurusan Keperawatan Unsoed mengadakan Seminar Nasional yang bertema “Peningkatan Pelayanan Kesehatan Bermutu Demi Terwujudnya Client Centered Approach Melalui Model Pengembangan Interprofessional Education”. Acara seminar dihadiri oleh kurang lebih 340 peserta dari 55 institusi keperawatan di seluruh Indonesia.
Sudah selayaknya antar profesi kesehatan saling berkolaborasi secara profesional sama rata. Bukan jamannya lagi merasa siapa yang di atas, siapa yang di bawah. Bukan pula waktunya untuk saling mendominasi, tapi waktunya untuk berkolaborasi demi pelayanan kesehatan yang bermutu. Sarana strategis untuk merintis dan membangun kolaborasi profesional tersebut adalah lingkungan pendidikan. Sistem pendidikan diharapkan tidak lagi terkotak-kotak, tetapi bersinergi satu sama lain. Wujud kongkritnya adalah penerapan model interprofessional education (IPE).
Tepat pukul 09.15 seminar dibuka oleh Pembantu Rektor III. Persembahan tari gambyong banyumasan yang diiringi musik tradisional calung menjadi agenda pembuka sebagai bentuk penyambutan kepada seluruh undangan maupun peserta yang hadir. Seminar menghadirkan 3 orang narasumber sebagai pembicara. Pembicara pertama adalah Yunisar Gultom, S.Kp., MCIN. Beliau merupakan kepala ruang rawat inap RSCM Jakarta. Beliau menyampaikan bahwa ada 3 kategori strategi kolaborasi, yaitu Self-Development Strategies, Team-Development Strategies, dan Communication-Development Strategies.
Pembicara kedua adalah Prof. dr. Sunartini, Sp. A(K)., Ph.D. Beliau adalah salah satu guru besar UGM. Beliau lebih menyoroti kontribusi IPE dalam mewujudkan kolaborasi klinis sumber daya manusia kesehatan. Menurutnya, IPE penting diterapkan dalam pembelajaran klinik karena teamwork dalam pelayanan kesehatan sering diperlukan dalam praktek bermacam profesi. Selain itu, penerapan praktik Interprofesional menghasilkan pelayanan yang komprehensif dan terpadu sesuai dengan value (harkat) dan harapan klien/pasien.
Pemibacara ketiga adalah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, Ph.D. Beliau juga merupakan salah satu guru besar UGM. Menurutnya, IPE adalah sebuah tantangan. Apa yang harus dilakukan sebelum IPE diterapkan dalam kurikulum? Pertama adalah persamaan persepsi mengenai pasien centered, pasien safety, multiprofessional team, dan peran dan fungsi masing-masing profesi. Kedua adalah perencanaan yang meliputi integrasi dan sistematika IPE serta goalnya masing-masing. Ketiga adalah implementasi IPE, pendokumentasian, dan output masing-masing. Keempat adalah proses pengembangan IPE dalam kurikulum dan dokumen akademik versi mahasiswa.
Seminar ditutup dengan diskusi panel yang dipandu oleh moderator, Ridlwan Kamaludin, S.Kep., Ns., M.Kep. Sebagian besar pertanyaan peserta lebih menyoroti masalah ketimpangan kolaborasi yang terjadi antar tenaga kesehatan yang ada di lapangan serta masih tingginya ego-isme antar mahasiswa kesehatan. Agar IPE benar-benar bisa diterapkan dalam sistem pendidikan yang saat ini masih terkotak-kotak, maka perlu adanya pemahaman mendasar mengenai IPE di masing-masing bidang ilmu kesehatan lain seperti kedokteran, farmasi, kesehatan masyarakat dll.
Materi semniar klik disini
Sudah selayaknya antar profesi kesehatan saling berkolaborasi secara profesional sama rata. Bukan jamannya lagi merasa siapa yang di atas, siapa yang di bawah. Bukan pula waktunya untuk saling mendominasi, tapi waktunya untuk berkolaborasi demi pelayanan kesehatan yang bermutu. Sarana strategis untuk merintis dan membangun kolaborasi profesional tersebut adalah lingkungan pendidikan. Sistem pendidikan diharapkan tidak lagi terkotak-kotak, tetapi bersinergi satu sama lain. Wujud kongkritnya adalah penerapan model interprofessional education (IPE).
Tepat pukul 09.15 seminar dibuka oleh Pembantu Rektor III. Persembahan tari gambyong banyumasan yang diiringi musik tradisional calung menjadi agenda pembuka sebagai bentuk penyambutan kepada seluruh undangan maupun peserta yang hadir. Seminar menghadirkan 3 orang narasumber sebagai pembicara. Pembicara pertama adalah Yunisar Gultom, S.Kp., MCIN. Beliau merupakan kepala ruang rawat inap RSCM Jakarta. Beliau menyampaikan bahwa ada 3 kategori strategi kolaborasi, yaitu Self-Development Strategies, Team-Development Strategies, dan Communication-Development Strategies.
Pembicara kedua adalah Prof. dr. Sunartini, Sp. A(K)., Ph.D. Beliau adalah salah satu guru besar UGM. Beliau lebih menyoroti kontribusi IPE dalam mewujudkan kolaborasi klinis sumber daya manusia kesehatan. Menurutnya, IPE penting diterapkan dalam pembelajaran klinik karena teamwork dalam pelayanan kesehatan sering diperlukan dalam praktek bermacam profesi. Selain itu, penerapan praktik Interprofesional menghasilkan pelayanan yang komprehensif dan terpadu sesuai dengan value (harkat) dan harapan klien/pasien.
Pemibacara ketiga adalah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, Ph.D. Beliau juga merupakan salah satu guru besar UGM. Menurutnya, IPE adalah sebuah tantangan. Apa yang harus dilakukan sebelum IPE diterapkan dalam kurikulum? Pertama adalah persamaan persepsi mengenai pasien centered, pasien safety, multiprofessional team, dan peran dan fungsi masing-masing profesi. Kedua adalah perencanaan yang meliputi integrasi dan sistematika IPE serta goalnya masing-masing. Ketiga adalah implementasi IPE, pendokumentasian, dan output masing-masing. Keempat adalah proses pengembangan IPE dalam kurikulum dan dokumen akademik versi mahasiswa.
Seminar ditutup dengan diskusi panel yang dipandu oleh moderator, Ridlwan Kamaludin, S.Kep., Ns., M.Kep. Sebagian besar pertanyaan peserta lebih menyoroti masalah ketimpangan kolaborasi yang terjadi antar tenaga kesehatan yang ada di lapangan serta masih tingginya ego-isme antar mahasiswa kesehatan. Agar IPE benar-benar bisa diterapkan dalam sistem pendidikan yang saat ini masih terkotak-kotak, maka perlu adanya pemahaman mendasar mengenai IPE di masing-masing bidang ilmu kesehatan lain seperti kedokteran, farmasi, kesehatan masyarakat dll.
Materi semniar klik disini
pas seminar kemaren ada satu pertanyaan yang sampe sekarang masih mengganjal *ga ditunjuk sih T_T *
ReplyDeletesebenernya pembagian wewenang setiap tenaga kesehatan itu sejauh apa sih...???dokter apa ajah?farmasis apa ajah?perawat?ahli gizi?dll?
ada salah satu pernyataan pak iwan yang masih terngiang2.beliau berkata kepada peserta *yang mayoritas perawat tentunya* mengenai contoh resep yang tidak boleh diberikan dokter kepada pasien :
"kalian harus bisa mengingatkan/memberitahu dokter bahwa resep itu 'sesat', tidak boleh diberikan kepada pasien"
pertanyaan saya, apakah perawat juga mempunyai wewenang untuk skrining resep?karena setau saya yang masih dalam proses belajar di farmasi, skrining resep adalah tugas seorang farmasis.kalo perawat juga punya wewenang untuk itu, bukannya akan terjadi over lap jobdes ya??pembagian tugas tenaga kesehatan jadinya tidak jelas. bagaimana bisa terbentuk kerja sama diantaranya??bisa bantu saya memahaminya......??
dlm memberikan obat kpda pasien, perawat diajari 5 benar. Diantaranya adalah benar obat dan benar dosis... dalam mmbrikan obat, peran prawat brada ditataran teknis yg langsung berhubngan dg pasien. oleh karena itu agar tdk terjadi hal yg tidak diingankan mka perawat pun hrs bisa memastikan klo obat yg akan diberikan adalah benar untuk pasien tsb,...
ReplyDeletepassword untuk membuka file materi seminar itu apa ya? terima kasih atas bantuannya =)
ReplyDelete