Jadi tahu sesuatu bisa dengan banyak cara. Jadi tahu dengan melihat. Jadi tahu dengan membaca. Jadi tahu dengan bertanya. Namun mereka yang tahu belum tentu bisa. Terlebih dalam hal ketrampilan. Karena hal itu butuh latihan, bukan hanya sekali. Tapi berulang-ulang. Oleh karena itu, untuk menjadi bisa, kuncinya adalah mau untuk mencoba. Dalam proses mencoba wajarlah ada salah. Toh yang sudah bisa pun kadang masih melakukan kesalahan. “Mau untuk mencoba”. Begitulah tiga kata yang seringkali terdengar diruangan, baik oleh perawat pelaksana, pembimbing, sampai karu pun sering mengucapkan itu pada kami (mahasiswa ners) yang sedang praktik disana.
Kalimat pembuka itu menjadi awal penyadaran bahwa yang namanya ingin bisa maka mau gk mau haruslah mencoba.
Mencoba dan hasilnya
Pernah saat itu masih jaga di ruang lavender, ada pasien lansia. Usianya sekitar 60-70-an tahun. Dia seorang perempuan. Sebut saja mbah M. Ketika itu aku dan beberapa perawat ruangan sedang melakukan rutinitas injeksi obat ke pasien. Dan pada saat itu pula, infus Mbah M macet, terlihat darah mbah M menggumpal di dalam selang dekat dengan tempat injeksi intra selang. Daerah sekitar itu pun basah dengan rembesan cairan yang mengindikasikan bahwa posisi infus harus diganti.
Akhirnya aku dan salah seorang perawat ruangan. Sebut saja mbak T namanya, segera menyiapkan infus set untuk mbah M. Hanya bebrapa menit peralatan pun sudah siap, tinggal memasangnya saja di tangan kanan mbah M. Sebentar saja dicari sudah kelihatan vena yang akan di tusuk. Memasang infus adalah satu ketrampilan yang sedikit langka di ruangan, karena sebagian besar pasien sudah terpasang infus dari IGD. Melihat kesempatan itu, maka aku pun berniat untuk mencoba. Aku meminta mbak T untuk aku saja yang mencoba memasangnya. This is the first time for me (bissmillahirrokhmanirrokhim), dan jarum pun masuk menembus vena mbah M. Sebagai seorang amatir,hehe aku sedikit kesusahan untuk menarik jarumnya agar yang benar-benar masuk kedalam vena adalah jarum yang plastik. Dengan pelan aku coba tarik, dan belum selesai aku tarik, vena mbah M pecah. Tampak benjolan disekitar vena yang tadi aku tusuk. Sambil aku pencet dengan kapas alkohol, sontak aku tanya ke mbah M. Mbah sakit mboten? (mbah sakit apa tidak?) Dan jawabannya adalah : nggih sakit, tapi mboten nopo-nopo sing penting mantun (ya sakit, tapi gk apa-apa, yang penting sembuh). Mendengar jawaban itu, aku mencoba kesempatan yang kedua. Dan hasilnya gagal lagi. Saat aku tanya lagi, mbah M pun menjawab dengan jawaban yang sama dna bahkan melempar senyum pada kami. Kepolosan mbah M dan jawaban yang diucapkannya membuatku merasakan betapa sungguh beruntungnya aku. Dalam proses mencobaku yang akhirnya gagal tidak kemudian membuat mbah M kecewa dengan apa yang aku lakukan. Mbah M begitu pasrah menerima apa yang terjadi, aku pun menjadi semakin yakin bahwa selama niat baik yang menjadi dasar. Maka segala sesuatunya pun akan menjadi baik pula, meskipun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Tapi proses yang kemudian membuat hasil itu menjadi bukan satu tujuan primer, melainkan sebuah akhir dari satu proses yang dilandasi niat baik. Selama mempraktikan nasehat “mau untuk mencoba” pun aku menjadi semakin memandang aspek bahwa yang menjadi objek tindakan adalah manusia yang akan merespon berbagai bentuk stimulasi yang diberikan. Respon yang dimunculkan pun akan berbeda-beda, tidak dapat diprediksi.
Dan pada akhirnya, mau untuk mencoba adalah satu keharusan bagi siapa saja yang ingin bisa (tidak hanya sekadar tahu).
#setelah sift pagi di dahlia : bangsal bedah
No comments:
Post a Comment